Kamis, 28 Juli 2016

Membakar Ladang Ala Masyarakat Adat Paser, Antara Kearifan Lokal dan Ancaman Negara

Akhir - akhir ini masyarakat adat diberbagai wilayah Indonesia diresahkan oleh aksi pemasangan spanduk-spanduk larangan membakar lahan dan hutan. ini tidak terkecuali untuk di daerah Kabupaten Paser Kalimantan Timur.

Dimana ini mendapatkan respon yang beragaman dari masyarakat, terutama masyarakat adat yang hari ini menggantungkan hidupnya kepada hutan. dan berladang merupakan salah satu cara bertahan hidup dan kearifan lokalyang masih dilakukan sampai hari ini.
Ini menjadi penting untuk dibicarakan lebih dalam, agar tidak ada yang dirugikan dalam setiap pengambilan keputusan, dimana tidak jarang yang dirugikan justru masyarakat adat itu sendiri dari setiap kebijakan pemerintah yang ada. mengingat ancaman dari kebijakan ini dinilai sangat tidak menguntungkan dan sangat memberatkan jika saja itu masyarakat adat yang menerimannya. karena tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan.
Apakah negara hari ini hadir sebagai pelindung masyarakat adat, atau justru sebaliknya ? itu yang menjadi pertanyaan besar dari masyarakat adat hari ini. karena ternyata itu terbukti bahwa para pelaku pembakar hutan skala besar hari ini masih melenggang bebas tanpa ada sangsi yang berarti dari negara. justru sebaliknya masyarakat adat yang menjadi korban ditakut-takuti oleh aparat dengan sebaran-sebaran spanduk ancaman pidana dan hukuman,

Yang menjadi pertanyaannya Siapakah Pembakar Lahan Sesungghuhnya ??

Coba kita urai satu persatu. Pertama Masyarakat Adat Paser dan Tata Cara Membuka dan Membakar Lahan. Seperti halnya ditulisan saya sebelumnya bahwa masyarkat Paser adalah merupakan salah satu dari sekian banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia ini, yang mempunyai wilayah adat, tatanan hidup, dan aturan adat yang berlaku secara turun temurun yang tetap ada dan tetap lestari hingga kini.

Aturan Adat dan tata cara hidup ini tidak luput dari bagaimana cara masyarkat adat Paser mengelola hutan dan lahannya untuk bertahan hidup. Dimana ini juga akan menjawab tudingan bahwa masyarakat adatlah sebagai biang keladi kebaran hutan, perusak hutan, penyebab kabut asap akibat berladang dan masih banyak tudingan-tudingan yang lain yang dinilai sangat menyudutkan dan sangat diskriminatif.

Ada beberapa aturan adat yang harus dilakukan dan ditaati oleh masyarkat adat apabila mereka ingin membuka lahan tempat berladang. Diantaranya adalah pertama-tama mereka menentukan waktu/hari yang baik dan sesuai kebiasaan. terutama yang masih kuat adalah dengan melihat bulan yang tepat. Kedua, jika masyarakat adat ingin membuka lahan maka harus memberitahukan terlebih dahulu kepada para tokoh masyarakat atau sesama masyarkat yang tinggal didaerah tersebut, agar sesama mereka saling mengetahui. sebab budaya sempolo atau gotong royong itu masih berlaku dalam cara hidup masyakat adat.

Ketiga, Mulai menebang pohon, ini bisa dilakukan dengan cara individu atau bisa dilakukan dengan cara berkelompok atau bergotong-royong (Sempolo Mombas) jika menebang atau menebas ini dianggap tidak bisa dilakukan secara individu. Keempat, Jika menebang lahan ini sudah selesai maka langkah selanjutnya adalah membakar lahan tersebut jika sudah kering, inipun ada aturan adat yang berlaku, tidak sembarang membakar lahan. tapi tetap mengedepankan kebersamaan dan aturan-aturan adat yang berlaku. mulai dari mengundang para masyarkat yang lain untuk membantu (sempolo), lalu bersama membuat garis api, dalam bahasa paser disebut ngoak atau membuat jalur api, agar api tidak keluar dari lahan yang ingin dikelola. menyediakan air untuk memadamkan api, jika pada jaman dahulu belum ada seprot atau selang air maka masyarakat adat Paser membuat pemadam api menggunakan bambu dan mengisi air dalam tembolok (penampung air yang terbuat dari bambu). membakar ladang/lahan ini pun tidak boleh sembarang waktu, biasanya dilakukan pada sore hari atau malam hari. Kelima. jika membakar lahan sudah dirasa cukup, maka yang dilakukan lagi adalah ngonduk (membersihkan sisa bakaran) sebagai tempat bercocok tanam. Jika dirasa sudah bersih dan cukup baru kembali mengundang masyarakat untuk sempolo ( Gotong royong) menanam bibit yang akan ditanam diladang. dan itu juga tidak terlepas dari aturan adat yang berlaku. ada ritual-ritual yang harus dilakukan. dan terakhir yang menarik dari kearifan lokal masyarlat adat Paser ini adalah, wajib menanam kembali pohon dilahan yang sudah dibuka, biasanya ditanam dengan pohon-pohon buah-buahan atau pohon-pohon yang lain sebagai ganti pohon yang telah ditebang, ini berfungsi sebagai pengganti, penyeimbang alam, dan biasa sebagai tanda alam bahwa lahan ini pernah digarap, namun tetap lestari.

Disini kita bisa melihat dan membaca serta mengkaji, betapa tingginya ilmu orang-orang tua dan lelihur kita terdahulu, betapa besar kecintaan mereka terhadap, hutan, alam dan wilayah adatnya. Mereka tidak pernah merusak apalagi menghancurkannya. karena bagi mereka hutan adalah sumber kehidupan bagi mereka, jantung bagi kehidupan mereka. Jadi sungguh naif jika kita hanya melihat dengan sebelah mata lantas menyalahkan dan mengatakan bahwa masyarakat adatlah sumber dari kerusakan hutan dan lahan akibat berladang dan membakar.

Dan itu berbanding terbalik dengan keberadaan perusahaan-perusahaan skala besar, Perusahaan sawit, HPH, HTI dan sebagainya. kita lihat bagaimana cara mereka membuka lahan, adakah mereka searif masyarakat adat, tentunya kita bahkan negara ini bisa menilainya. tapi kenapa masyarkaat adat yang selalu menjadi kambing hitamnya. ada apa dengan negara kita ini. apakah keberadaan masyarkat adat sudah dianggap tidak perlu lagi. sunggung menyedihkan memang. namun itulah yang terjadi.

Saya mencoba mengutip salah satu tulisan dari saudari Arimbi Heroepoetri.,SH.,LL.M http://www.aman.or.id/2016/03/31/siapakah-pembakar-hutan-dan-lahan/

Baru saja Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, mendarat di Jakarta dari lawatannya ke Norwegia ketika Karhutla di Sumatera semakin membesar dan meluas. Ia menyatakan bahwa pelaku pembakar adalah “diduga perusahaan sawit”1 setelah sebelumnya sempat menyebut “masyarakat sebagai pembakar hutan”.
Kita semua tahu, tahun 2015 adalah tahun kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang hebat dan lama yang ketebalan asapnya menimbulkan berbagai macam kerugian, termasuk kematian Balita dan puluhan ribu orang di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) karena terpapar asap.2 Karhutla berulang dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Terlepas segala kritik, pemerintahpun bereaksi dengan melakukan tindakan hukum kepada beberapa korporasi, baik melalui jalur hukum pidana, perdata dan administrasi. Dan yang menarik ada kesepatan umum dari peristiwa karhutla kali ini, yaitu Kebakaran karhutla diakibatkan oleh manusia3 dan Wilayah kebakaran kebanyakan di area konsesi.4
Kenyataan di atas tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kebakaran hutan dan lahan adalah akibat perbuatan manusia, dan itu bisa siapa saja termasuk korporasi dan perorangan.
Maka ketika menteri LHK sedang getol mengejar pelaku pembakar dari korporasi, ada usaha sistematis untuk juga menunjuk warga/perorangan sebagai pelaku pembakar. Pembelaan dari pihak korporasi adalah “kami tidak tahu asal kebakaran dari mana, tiba-tiba saja terjadi,” atau “tidak mungkin kami membakar lahan kami sendiri.” Salah satu usulan solusinya adalah sosialisasi kepada warga/masyarakat untuk tidak lagi melakukan pembakaran lahan. Bahkan ada desakan untuk merevisi UUPLH no 32 thn 2009 yang masih mengijinkan pembakaran lahan sampai 2 hektar. Ini dianggap sebagai salah satu pemicu utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
“Bayangkan jika 1 Kepala Keluarga (KK) dijinkan untuk membakar sampai 2 hektar, jika ada 100 KK, maka akan ada 200 hektar lahan terbakar” demikian logika sederhana yang kerap diangkat dalam berbagai pertemuan mengenai Karhutla. Seorang pejabat KLHK bahkan pernah berkata, “Tadinya kami ingin merubah UU No. 32, tapi masyarakat adat tidak sepakat” tanpa menjelaskan mengapa masyarakat adat tidak sepakat.
Ancaman Presiden Joko Widodo untuk mencopot pejabat, jika di daerahnya masih terjadi kebakaran lahan dan hutan ternyata cukup membuat panik di wilayah-wilayah yang tercatat tinggi angka karhutlanya5. Sehingga mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menekan potensi kebakaran hutan dan lahan. Salah satunya dengan meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat, termasuk memasang papan larangan membakar hutan.
“Ancaman dan resahnya masyarakat adat dayak meratus Kalimantan selatan saat pemerintah kabupaten hulu sungai tengah mensosialisasikan
1. UU no. 19/2014 tentang kehutanan pasal 50 huruf d,
2. UU no. 32/ 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal 108.
Ini akan berdampak negatif terhadap kehidupan ratusan jiwa masyarakat adat khususnya yang kehidupannya sebagai petani ladang. Karena tidak boleh menebang dan membakar lahan artinya tidak boleh berladang lagi. Tidak berladang berarti mati. Sanggahan warga adalah.. kami tidak membakar hutan, kami membakar ladang itupun dilakukan secara berhati-hati dan melibatkan warga yang lain dan yang pasti itu juga dilakukan dengan ritual adat”.
Demikian berita yang didapat dalam sebuah Grup WhatsApp, Jumat, 11 Maret 2016. Ternyata yang dipilih oleh pemerintah daerah adalah melakukan sosialisasi ke masyarakat, dan hanya fokus kepada pasal 50 huruf d UU no. 19/2014, dan Pasal 108 UU no.32/ 2009.
Mari kita simak apa isi isi pasal-pasal termaksud:
Pasal 50 UU 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Thn. 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Thn. 1999 tentang Kehutanan menjadi UU.
Pasal 50 (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
h. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
i. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
l. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 108 UU No. 32 Thn. 2009 tentang PPLH
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal-pasal di atas memang sungguh menakutkan seolah-olah tanpa ampun siapa saja yang membakar dan untuk alasan dan kepentingan apapun, maka ia akan terkena pidana penjara dan denda.
Namun benarkah demikian?
Mari kita simak Pasal 69 ayat (1) huruf h sebagaimana dikutip dalam Pasal 108.
Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang:
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
Jika HANYA melihat pasal 69 ayat (1) huruf “h” saja, maka memang seolah-olah adanya larangan membuka lahan tanpa kecuali. Namun Pasal 69 harus dilihat secara utuh, yaitu dalam ketentuan Pasal 69 ayat 2, yang menyatakan:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.”
Kemudian periksa bagian Penjelasan Pasal 69 ayat 2, yang menyatakan:
Ayat (2)
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Maka bagi saya jelaslah larangan membakar lahan itu:
1. Tidak berlaku bagi Masyarakat yang menjalankan kearifan tradisionalnya
2. Masyarakat yang menjalankan kearifan tradisionalnya dalam membakar lahan hanya boleh terhadap lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per KK
3. Tanaman yang boleh ditanami adalah jenis varietas lokal, dan
4. Dikelilingi oleh sekat bakar untuk mencegah penjalaran api
Tata laksana ketentuan Pasal 69 UUPLH diatur lebih lanjut dalam Permen LH No. 10 tahun 2010.

Ise Aso Ena Makse Taka (Siapa lagi Kalau Bukan Kita)
Syukran Amin
Palangka Raya, 28 Juli 2016

Selasa, 26 Juli 2016

Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat Paser. Antara semangat Perubahan dan Trauma Politik.

Masyarakat adat Paser merupakan salah satu dari sekian banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia. Yang mempunyai sejarah asal-usul, wilayah adat, hukum adat dan tata cara hidup tersendiri yang dimiliki.

Paser merupakan nama sebuah suku yang mendiami Pulau Kalimantan, tepatnya di Provinsi Kalimantan Timur. yang meliputi 3 (tiga) wilayah administratif, yakni Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Balikpapan. Namun wilayah adatnya juga ada yang masuk sebagian di Provinsi Kalimantan Selatan.

Dewasa ini masyarakat adat Paser diperhadapkan dengan situasi dimana masyarakat adat harus terlibat aktif penuh dalam perluasan politik masyarakat adat, guna untuk mewujudkan cita-cita besar bangsa dan masyarkat adat untuk bisa mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara budaya. Namun hal itu bukanlah mudah untuk mencapai dan meraih cita-cita besar tersebut. Butuh kesadaran bersama, perjuangan bersama, dan konsistensi serta loyalitas terhadap sebuah perjuangan yang tinggi. Mengingat trauma politik yang mendalam akibat dari akumulasi dari pembodohan-pembodohanyang cukup lama selama ini oleh para elit-elit politik yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat, namun dibalik itu ada niatan yang sangat jahat, untuk menguasai dan menjarah sumber daya yang ada. Dan itu terbukti dengan banyaknya perampasan hak atas wilayah adat, sumber daya alam, dan bahkan diskriminasi serta kriminalisasi pun menjadi hal yang sangat sering terjadi dan diterima masyatakat adat Paser.

Maka menurut penulis langkah awal yang pertama yang harus dibangun adalah, membangkitkan rasa percaya diri kepada generasi muda Paser, bahwa Mayarakat adat Paser jika ingin maju, jika ingin setara atau bahkan lebih daripada yang lain adalah dengan menumbuh-kembangkan rasa percaya diri bahwa Paser berhak penuh atas wilayah adatnya, generasi Paser juga berhak menentukan arah hidup dirinya dan kampungnya, mengingat masyarakat adat Paser merupakan pemilik yang sah atas wilayah adat dengan segenap sumber daya yang ada, yang diwarisi dari para leluhur masyarakat adat Paser.

Langkah yang kedua, adalah generasi muda Paser harus berani membuka diri terhadap kemajuan, menyerap segala macam pembaharuan yang konstruktif dengan tidak meninggalkan nilai-nilai adat istiadat yang diwarisi oleh leluhurnya, sehingga generasi tersebut tetap tidak kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat adat.

Langkah yang ketiga, Kaderisasi dan Distribusi Kader Potensial. Ini penting untuk difahami dan dilakukan oleh segenap pihak dan lembaga, pemerhati dan penggiat masyarakat adat Paser. Karena jika ingin masyarakat adat kuat, maka masyarakat adat juga harus berani melawan arus atau mungkin mengikuti arus perubahan. Karena stigma masyarakat adat yang selama ini dianggap kolot, kampungan dan dianggap tidak bisa jadi pemimpin itu masih sering kita dengar, namum itu akan terbantahkan jika kita sebagai generasi muda ini mampu bangkit dan mengatakan kepada dunia bahwa kita juga sama. Kita juga berhak menentukan nasib kita di tanah kita sendiri.
Distribusi kader potensial yang dimaksud adalah, membekali diri para kader masyarakat adat dengan bermacam disiplin ilmu pengetahuan, baik sosial, politik, budaya dst.  sesuai dengan kompotensi masing –masing kader masyarakat adat. Lalu mendorong para gerenasi muda Paser tersebut untuk mengisi sektor-sektor yang dianggap sesuai yang  bisa membawa perubahan yang lebih baik untuk kemajuan masyarakat adat dan wilayah adatnya,serta untuk kemajuan negara dan bangsa Indonesia yang kita cintai ini.

Dalam dunia politik, Masyarakat Adat Paser jelas punya suara yang sama, bahwa mereka ingin dipimpin oleh suku asli Paser itu sendiri, ini terbukti dari keinginan-keinginan disertai dengan perjuangan yang dilakukan pada beberapa dekade terakhir ini. Meski pada akhirnya kesempatan dan cita-cita besar itu belum terwujud. Namun tetap saja bahwa perjungan itu tidak berhenti disitu saja. Masyarakat Adat Paser terus berbenah, terus mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu dari mereka yang selama ini dianggap belum bisa membawa banyak perubahan bagi masyarakat adat Paser, bahkan justru sebaliknya.

Dan keinginan ini tentu saja sangat beralasan, bahwa memang hanya masyarakat adat Paserlah yang bisa mengerti, memahami dan serta ingin melihat negerinya lebih baik. Karena selama ini masyarakat adat Paser menganggap bahwa mereka selain masyarakat adat Paser  yang menjadi pemimpin hanya mengasihani dan mungkin mereka menganggap sebatas hanya memahami kesulitan dan kepedihan yang dialami masyarakat adat Paser. Dan teriakan-teriakan ini selalu muncul dalam setiap aksi gerakan masyarakat adat Paser, di forum-forum, media sosial, warung-warung kopi disudut-sudut kampung dan dibanyak tempat yang lainnya.

Dan ini menarik jika ditarik dalam bingkai kenegaraan dan kebangsaan yang biasa kita sebut NKRI. Yang menganut faham Bhineka Tunggal Ika, Berbeda-beda tapi tetap satu.
Sejauh ini negara dirasakan belum sepenuhnya hadir sebagai pelindung bagi warga negaranya. Karenanya tidak berlebihan jika kiranya masyarakat adat banyak menuntut dan meminta pengakuan yang lebih kepada negara. Salah satunya adalah dengan mempertegas diri bahwa masyarakat adat Paser berhak menetukan nasibnya sendiri ditanah leluhurnya. Bahwa jika negara meniadakan masyarakat adat sama halnya meniadakan negara sendiri.

Dipenghujung penulis ingin menegaskan, bahwa memang jika masyakarat adat Paser ingin melangkah maju, harus berani keluar dari stigma buruk yang terus ditanamkan dan dilontarkan oleh orang-orang yang ingin menguasai Paser, yang justru mengkerdilkan masyarakat adat Paser itu sendiri. Dengan merubah pola fikir kearah yang lebih baik dan membangun rasa kepercayaan yang tinggi disertai dengan kemauan belajar yang kuat. Serta tidak kaku apalagi tabu menghadapi perbedaan dan perubahan yang terjadi. Dan penulis juga ingin mengutip sebuah kata-kata sangat populer bahwa ada tiga cara untuk menguasaikan suatu negeri/bangsa : Pertama, Kaburkan Sejarahnya. Kedua, Hilangkan Bukti Sejarahnya, sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya. Ketiga, Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya. Dengan mengatakan kepada mereka bahwa leluhur mereka bodoh, syirik dan primitif agar mereka membencinya.
Ise Aso Ena Makse Taka’ (Siapa Lagi Jika Bukan Kita)

Syukran Amin
Palangkaraya, 26 Juli 2016











Rabu, 20 April 2016

Masyarakat Adat Paser Butuh Kepastian Hukum

Kerusakan Hutan Akibat PT Fajar Surya Swadaya
Paser (20/04/2016} Konflik Sumber Daya Alam, Agraria, Wilayah Adat menjadi masalah utama saat ini di Kabupaten Paser. itu dapat kita lihat bagaimana padatnya jadwal hearing di DPRD terkait penyelesaian konflik masyarakat adat dengan perusahaan, investor dan pemerintah, baik itu terkait pemberian izin, MoU yang tidak jelas, dampak lingkungan, kerusakan hutan dan lingkungan, sampai perampasan hak atas wilayah adat masyarakat. Belum lagi aksi-aksi di lapangan yang saat ini gencar dilakukan masyarakat adat Paser menuntut pengakuan dan perlindungan hak-haknya.

Ada banyak aksi-aksi di Lapangan yang dilakukan oleh masyarakat Adat Paser sejak ± 10 tahun terakhir, Aksi SABIRAL yang kita kenal, kemudian Aksi tuntutan 10 Desa, Aksi Muara Lambakan, Aksi pemortalan perkebunan kelapa sawit dimana-mana dan banyak masih aksi-aksi masyakat adat Paser yang lainnya sampai hari ini, dimana dari banyaknya aksi Masyarakat adat selalu diposisi yang banyak dirugikan, dan tidak sedikit harus berakhir kriminalisasi dan diskriminasi.
Terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Paser, tidak banyak aturan yang jelas sebagai pedoman masyarakat adat Paser, hanya ada Perda Paser Tahun 2003 tentang Kelembagaan Adat dan Seni Budaya serta Surat Pernyataan Bupati Paser Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarkat Adat Paser Tahun 2015, itupun tidak secara spesifik mengatur tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Paser. Karenanya masyarakat Adat Paser butuh kepastian hukum dan perlindungan yang jelas atas hak-haknya agar masyarakat adat Paser merasa aman dan terlindungi, Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak masyakarat adat Paser (PPHMA) merupakan salah satu bentuk kepastian hukum yang saat ini dinantikan dan diperjuangkan oleh masyarakat adat Paser. Karena itu akan menjadi pedoman antara masyarakat adat dengan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan ini.
Perda Pengakuan dan Perlindungan hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) ini menjadi penting karena disini akan diatur dengan jelas bagaimana Hak atas hidup, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya, hak atas pembangunan, hak atas spritualitas dan kebudayaan, hak untuk mengurus diri sendiri, hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat, dll. Karenanya Butuh kerjasama dan komitmen yang kuat antara masyarakat adat dan pemerintah untuk bersama-sama mewujudkan itu semua sehingga cita-cita besar masyarakat adat untuk mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara budaya segera tercapai. Karena pengabaian atas hak-hak masyarkat adat adalah sama halnya meniadakan keutuhan NKRI, karena hak masyarakat adat telah diakui dan diatur oleh negara itu sendiri. (SA)