SAHABAT NUSANTARA
"Hanya Orang Yang Kreatif Yang Berani Nimbrung Disini"
Minggu, 12 Agustus 2018
Eko Yuniantonosa S.Hut Terpilih Menjadi Ketua DPD KNPI Paser Periode 2018-2021
Tanah Grogot (11/8/2018). Nuansa demokrasi sangat terasa menyelimuti Musyawarah Daerah Luar Biasa (MUSDALUB) DPD KNPI Paser ke 14 yang di selenggarakan di Pendopo Bupati Paser.
Ini terlihat sejak awal dibukanya Musdalub oleh Wibowo Mapatunru selaku utusan dari DPD KNPI Provinsi Kalimantan Timur. Antusias dari peserta Musdalub yang terhimpun dari OKP-OKP dan PK KNPI sangat terasa mewarnai ruang sidang pleno, dari banyaknya interupsi, masukan dan harapan yang disampaikan dari peserta Musda. Turut hadir juga Kesbangpol dan Komisi III DPRD Kabupaten Paser dan Para senior KNPI Paser diacara Musda tersebut.
Ada lima kandidat yang diusung dari OKP dan PK KNPI yakni Agus Salim, Furaidi Safitri, Zulfikar Yusliskatin, Eko Yuniantonosa dan Syukran Amin. Melalui perundingan yang alot kelima kandidat ini memutuskan untuk melakukan musyawarah mufakat untuk menentukan pilihan yang akan menahkodai KNPI Paser. Dan Saudara Eko Yuniantonosa yang terpilih dari hasil rembuk para kandidat ini.
Ditemui setelah penutupan acara Musda Eko Yuniantonosa mengaku sangat berterima kasih kepada semua OKP dan PK serta para kandidat yang dengan berbesar hati menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya, mereka semua luar biasa, ini merupakan amanah yang besar untuk dapat menyatukan dan membawa pemuda Paser ke yang lebih baik lagi, dan saya tidak bisa sendiri butuh dukungan dan bantuan dari semua pihak, tambahnya.
Ari Rifandi selaku ketua Panitia dari OKP Muhammadiayah juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak terutama Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Paser, DPRD Kabupaten Paser serta segenap elemen yang turut menyukseskan acara Musdalub ini sehingga sukses tanpa halangan apapun. Kami juga menyampaikan bela sungkawa kepada Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Bapak Ishak, M.Si yang telah berpulang ke rahmatullah, Semoga amal ibadah beliau diterima disisiNya. Harapan kami kedepan semoga KNPI Paser bisa terus bergandeng tangan dengan pemerintah membangun daerah ini dibidang kepemudaan khususnya, pungkas Ari mengakhiri.(SA)
Rabu, 12 Juli 2017
PASER BEKERAI (Sebuah Ideologi dalam Sejarah Gerakan Masyarakat Adat Paser)
29
Desember 2014 merupakan masa embrio cikal bakal lahirnya Paser Bekerai, ini
sangat erat kaitannya dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Paser No 48 Tahun
2013 Tentang Unguisasi, dimana masyarakat adat Paser sepakat merespon dan menolak
adanya Perbup karena dikhawatirkan dapat menghilangkan khazanah dan kearifan
lokal masyarakat adat Paser saat itu. Alasan penolakan tersebut jelas mempunyai
landasan hukum yang kuat, mengingat sampai saat ini belum nampak kebijakan yang
dapat dirasakan langsung manfaatnya terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak
masyarakat adat Paser dari Pemerintah Daerah, dalam sejarah pemerintahan
Kabupaten Paser hanya satu Peraturan Daerah yang bicara tentang masyarakat
adat, yakni Peraturan Daerah Tahun 2000 tentang Kelembagaan adat dan Pelestarian
adat istiadat Paser. Namum Perda ini dirasakan belum cukup untuk menjadi payung
hukum masyarakat adat Paser, selain Perda ini tidak bicara tentang hak hidup dan
wilayah adat, perda ini juga dinilai belum ada aktualisasi yang riil dari
Pemerintah Daerah.
Dari
mana munculnya nama Paser Bekerai dan siapa itu Paser Bekerai?
Kemunculan
istilah Paser Bekerai ada saat dimana masyarakat adat Paser yang merasa senasib
sepenanggungan dan seperjuangan pada saat itu terpecah-pecah dan
berkelompok-kelompok, baik tergabung dalam organisasi daerah, nasional,
masyarakat non organisasi, PNS, TNI, Polisi, Petani, Nelayan dan sebagainya
yang terdiri dari 3 wilayah administratif di Tana Paser, yakni Kabupaten Paser,
Kabupaten Penajam Paser Utara dan Balikpapan.
Melihat
keadaan itu masyarakat adat Paser memandang perlu adanya ikatan ideologis dan
emosional yang dapat mengikat dan menyatukan mereka, maka secara sadar mereka
menamakan dirinya Paser Bekerai yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia
adalah Paser Bersatu, Bersatu dalam arti yang utuh, tidak terpisah oleh apapun
dan siapapun baik oleh kasta, jabatan, agama dan keyakinan, Bersatu tanpa ada
kelas. Dimana jika ada momen atau kegiatan bersama maka secara rela dan sadar masyarakat
adat Paser akan melepaskan semua atribut dan kelas pembeda yang dipakai dan
melebur dalam sebuah ikatan yang dinamakan Paser Bekerai.
Paser
Bekerai bisa dikatakan sebagai sebuah Ideologi sebagai bangsa yang besar,
karena Paser Bekerai bukan organisasi formal, tidak mempunyai legalitas seperti
kebanyakan organisasi yang ada, dia hanya punya penggerak disetiap kampung yang dikenal dengan sebutan Pengirak Paser Bekerai. Lantas dimana letak Paser bekerai itu, maka
penulis bisa mengatakan letak Paser Bekerai itu ada dihati setiap masyarakat adat Paser, yang merasa senasib
sepenanggungan dan seperjuangan. Karenanya tepat jika dikatakan bahwa Paser
Bekerai adalah sebuah Ideologi bersama. Dimana semoga nantinya Paser Bekrai
juga bisa menjadi Ideologi bersama Kabupaten Paser untuk menjadi spirit dan
semangat bersama untuk menjaga dan membangun Kabupaten Paser menjadi lebih baik
kedepannya.
Paser
Bekerai dideklarasikan tepat setelah dicabutnya Peraturan Bupati Paser No 48
Tentang Unguisasi tepat pada tanggal 14 januari 2015, bertempat di Kampung
Keluang Paser Jaya Kecamatan Kuaro kabupaten Paser, tepatnya dirumah Bapak
Arpani yang juga selaku Pengutok Paser Bekerai pertama saat itu, dimana
sebelumnya masyarakat adat Paser menamakan aksi dan perkumpulan mereka adalah “Aksi
Masyarakat Adat Paser”.
Kurang
lebih 3 (Tiga) Tahun sudah keberadaan Paser Bekerai, ada banyak cerita dan
perjuangan bersama yang dilalui, pasang surut gerakan seiring kondisi yang ada,
itu adalah dinamika sebagai sebuah wadah berkumpul yang besar. Perlu komitmen
tingkat tinggi dan berbesar hati menerima semua perbedaan, dan menjadikannya
sebagai sebuah kekayaan berfikir dan budaya masyarakat adat Paser. Namun disisi
lain juga masih ada banyak PR yang menjadi tugas berat Paser Bekerai yang belum
terselesaikan dan masih terus diperjuangkan, yakni menjadikan masyarakat adat
Paser yang mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politi dan bermartabat
secara budaya. Dan ini telah menjadi cita-cita besar bersama, yang terus
diperjuangkan dan diusahakan.
Mangku
Awat, Mangku Pekingat, Mangku tengkuat (Saling Membantu, Saling Mengingatkan,
Saling Mengangkat Jika Terjatuh) merupakan semboyan dasar Paser Bekerai. Ise
Aso Ena Makse Taka (Siapa Lagi Kalau Bukan Kita)
Sampai
Jumpa diperjungan selanjutnya saudaraku.
Hormatku,
Syukran
Amin
Kamis, 28 Juli 2016
Membakar Ladang Ala Masyarakat Adat Paser, Antara Kearifan Lokal dan Ancaman Negara
Akhir - akhir ini masyarakat adat diberbagai wilayah
Indonesia diresahkan oleh aksi pemasangan spanduk-spanduk larangan membakar
lahan dan hutan. ini tidak terkecuali untuk di daerah Kabupaten Paser
Kalimantan Timur.
Dimana ini mendapatkan respon yang beragaman dari
masyarakat, terutama masyarakat adat yang hari ini menggantungkan hidupnya
kepada hutan. dan berladang merupakan salah satu cara bertahan hidup dan
kearifan lokalyang masih dilakukan sampai hari ini.
Ini menjadi penting untuk dibicarakan lebih dalam, agar
tidak ada yang dirugikan dalam setiap pengambilan keputusan, dimana tidak
jarang yang dirugikan justru masyarakat adat itu sendiri dari setiap kebijakan
pemerintah yang ada. mengingat ancaman dari kebijakan ini dinilai sangat tidak
menguntungkan dan sangat memberatkan jika saja itu masyarakat adat yang
menerimannya. karena tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan.
Apakah negara hari ini hadir sebagai pelindung masyarakat
adat, atau justru sebaliknya ? itu yang menjadi pertanyaan besar dari masyarakat
adat hari ini. karena ternyata itu terbukti bahwa para pelaku pembakar hutan
skala besar hari ini masih melenggang bebas tanpa ada sangsi yang berarti dari
negara. justru sebaliknya masyarakat adat yang menjadi korban ditakut-takuti
oleh aparat dengan sebaran-sebaran spanduk ancaman pidana dan hukuman,
Yang menjadi pertanyaannya Siapakah Pembakar Lahan
Sesungghuhnya ??
Coba kita urai satu persatu. Pertama Masyarakat Adat
Paser dan Tata Cara Membuka dan Membakar Lahan. Seperti halnya ditulisan
saya sebelumnya bahwa masyarkat Paser adalah merupakan salah satu dari sekian
banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia ini, yang mempunyai wilayah adat,
tatanan hidup, dan aturan adat yang berlaku secara turun temurun yang tetap ada
dan tetap lestari hingga kini.
Aturan Adat dan tata cara hidup ini tidak luput dari
bagaimana cara masyarkat adat Paser mengelola hutan dan lahannya untuk bertahan
hidup. Dimana ini juga akan menjawab tudingan bahwa masyarakat adatlah sebagai
biang keladi kebaran hutan, perusak hutan, penyebab kabut asap akibat berladang
dan masih banyak tudingan-tudingan yang lain yang dinilai sangat menyudutkan
dan sangat diskriminatif.
Ada beberapa aturan adat yang harus dilakukan dan ditaati
oleh masyarkat adat apabila mereka ingin membuka lahan tempat berladang.
Diantaranya adalah pertama-tama mereka menentukan waktu/hari yang baik dan
sesuai kebiasaan. terutama yang masih kuat adalah dengan melihat bulan yang
tepat. Kedua, jika masyarakat adat ingin membuka lahan maka harus
memberitahukan terlebih dahulu kepada para tokoh masyarakat atau sesama
masyarkat yang tinggal didaerah tersebut, agar sesama mereka saling mengetahui.
sebab budaya sempolo atau gotong royong itu masih berlaku dalam cara hidup
masyakat adat.
Ketiga, Mulai menebang pohon, ini bisa dilakukan dengan
cara individu atau bisa dilakukan dengan cara berkelompok atau bergotong-royong
(Sempolo Mombas) jika menebang atau menebas ini dianggap tidak bisa dilakukan
secara individu. Keempat, Jika menebang lahan ini sudah selesai maka langkah
selanjutnya adalah membakar lahan tersebut jika sudah kering, inipun ada aturan
adat yang berlaku, tidak sembarang membakar lahan. tapi tetap mengedepankan
kebersamaan dan aturan-aturan adat yang berlaku. mulai dari mengundang para
masyarkat yang lain untuk membantu (sempolo), lalu bersama membuat garis api,
dalam bahasa paser disebut ngoak atau membuat jalur api, agar api tidak keluar
dari lahan yang ingin dikelola. menyediakan air untuk memadamkan api, jika pada
jaman dahulu belum ada seprot atau selang air maka masyarakat adat Paser
membuat pemadam api menggunakan bambu dan mengisi air dalam tembolok (penampung
air yang terbuat dari bambu). membakar ladang/lahan ini pun tidak boleh
sembarang waktu, biasanya dilakukan pada sore hari atau malam hari. Kelima.
jika membakar lahan sudah dirasa cukup, maka yang dilakukan lagi adalah ngonduk
(membersihkan sisa bakaran) sebagai tempat bercocok tanam. Jika dirasa sudah
bersih dan cukup baru kembali mengundang masyarakat untuk sempolo ( Gotong
royong) menanam bibit yang akan ditanam diladang. dan itu juga tidak terlepas
dari aturan adat yang berlaku. ada ritual-ritual yang harus dilakukan. dan
terakhir yang menarik dari kearifan lokal masyarlat adat Paser ini adalah,
wajib menanam kembali pohon dilahan yang sudah dibuka, biasanya ditanam dengan
pohon-pohon buah-buahan atau pohon-pohon yang lain sebagai ganti pohon yang
telah ditebang, ini berfungsi sebagai pengganti, penyeimbang alam, dan biasa
sebagai tanda alam bahwa lahan ini pernah digarap, namun tetap lestari.
Disini kita bisa melihat dan membaca serta mengkaji, betapa
tingginya ilmu orang-orang tua dan lelihur kita terdahulu, betapa besar
kecintaan mereka terhadap, hutan, alam dan wilayah adatnya. Mereka tidak pernah
merusak apalagi menghancurkannya. karena bagi mereka hutan adalah sumber
kehidupan bagi mereka, jantung bagi kehidupan mereka. Jadi sungguh naif jika
kita hanya melihat dengan sebelah mata lantas menyalahkan dan mengatakan bahwa
masyarakat adatlah sumber dari kerusakan hutan dan lahan akibat berladang dan
membakar.
Dan itu berbanding terbalik dengan keberadaan
perusahaan-perusahaan skala besar, Perusahaan sawit, HPH, HTI dan sebagainya.
kita lihat bagaimana cara mereka membuka lahan, adakah mereka searif masyarakat
adat, tentunya kita bahkan negara ini bisa menilainya. tapi kenapa masyarkaat
adat yang selalu menjadi kambing hitamnya. ada apa dengan negara kita ini.
apakah keberadaan masyarkat adat sudah dianggap tidak perlu lagi. sunggung
menyedihkan memang. namun itulah yang terjadi.
Saya mencoba mengutip salah satu tulisan dari saudari Arimbi Heroepoetri.,SH.,LL.M http://www.aman.or.id/2016/03/31/siapakah-pembakar-hutan-dan-lahan/
Baru saja Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, mendarat di Jakarta dari lawatannya ke
Norwegia ketika Karhutla di Sumatera semakin membesar dan meluas. Ia menyatakan
bahwa pelaku pembakar adalah “diduga perusahaan sawit”1 setelah sebelumnya
sempat menyebut “masyarakat sebagai pembakar hutan”.
Kita semua tahu, tahun 2015 adalah
tahun kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang hebat dan lama yang ketebalan
asapnya menimbulkan berbagai macam kerugian, termasuk kematian Balita dan
puluhan ribu orang di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang menderita infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) karena terpapar asap.2 Karhutla berulang dan
terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Terlepas segala kritik,
pemerintahpun bereaksi dengan melakukan tindakan hukum kepada beberapa
korporasi, baik melalui jalur hukum pidana, perdata dan administrasi. Dan yang
menarik ada kesepatan umum dari peristiwa karhutla kali ini, yaitu Kebakaran
karhutla diakibatkan oleh manusia3 dan Wilayah kebakaran kebanyakan di area
konsesi.4
Kenyataan di atas tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa kebakaran hutan dan lahan adalah akibat perbuatan
manusia, dan itu bisa siapa saja termasuk korporasi dan perorangan.
Maka ketika menteri LHK sedang
getol mengejar pelaku pembakar dari korporasi, ada usaha sistematis untuk juga
menunjuk warga/perorangan sebagai pelaku pembakar. Pembelaan dari pihak
korporasi adalah “kami tidak tahu asal kebakaran dari mana, tiba-tiba saja
terjadi,” atau “tidak mungkin kami membakar lahan kami sendiri.” Salah satu
usulan solusinya adalah sosialisasi kepada warga/masyarakat untuk tidak lagi
melakukan pembakaran lahan. Bahkan ada desakan untuk merevisi UUPLH no 32 thn
2009 yang masih mengijinkan pembakaran lahan sampai 2 hektar. Ini dianggap
sebagai salah satu pemicu utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
“Bayangkan jika 1 Kepala Keluarga
(KK) dijinkan untuk membakar sampai 2 hektar, jika ada 100 KK, maka akan ada
200 hektar lahan terbakar” demikian logika sederhana yang kerap diangkat dalam
berbagai pertemuan mengenai Karhutla. Seorang pejabat KLHK bahkan pernah
berkata, “Tadinya kami ingin merubah UU No. 32, tapi masyarakat adat tidak
sepakat” tanpa menjelaskan mengapa masyarakat adat tidak sepakat.
Ancaman Presiden Joko Widodo untuk
mencopot pejabat, jika di daerahnya masih terjadi kebakaran lahan dan hutan
ternyata cukup membuat panik di wilayah-wilayah yang tercatat tinggi angka
karhutlanya5. Sehingga mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menekan
potensi kebakaran hutan dan lahan. Salah satunya dengan meningkatkan
sosialisasi kepada masyarakat, termasuk memasang papan larangan membakar hutan.
“Ancaman dan resahnya masyarakat
adat dayak meratus Kalimantan selatan saat pemerintah kabupaten hulu sungai
tengah mensosialisasikan
1. UU no. 19/2014 tentang kehutanan pasal 50 huruf d,
2. UU no. 32/ 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal 108.
Ini akan berdampak negatif terhadap kehidupan ratusan jiwa masyarakat adat khususnya yang kehidupannya sebagai petani ladang. Karena tidak boleh menebang dan membakar lahan artinya tidak boleh berladang lagi. Tidak berladang berarti mati. Sanggahan warga adalah.. kami tidak membakar hutan, kami membakar ladang itupun dilakukan secara berhati-hati dan melibatkan warga yang lain dan yang pasti itu juga dilakukan dengan ritual adat”.
1. UU no. 19/2014 tentang kehutanan pasal 50 huruf d,
2. UU no. 32/ 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal 108.
Ini akan berdampak negatif terhadap kehidupan ratusan jiwa masyarakat adat khususnya yang kehidupannya sebagai petani ladang. Karena tidak boleh menebang dan membakar lahan artinya tidak boleh berladang lagi. Tidak berladang berarti mati. Sanggahan warga adalah.. kami tidak membakar hutan, kami membakar ladang itupun dilakukan secara berhati-hati dan melibatkan warga yang lain dan yang pasti itu juga dilakukan dengan ritual adat”.
Demikian berita yang didapat dalam
sebuah Grup WhatsApp, Jumat, 11 Maret 2016. Ternyata yang dipilih oleh
pemerintah daerah adalah melakukan sosialisasi ke masyarakat, dan hanya fokus
kepada pasal 50 huruf d UU no. 19/2014, dan Pasal 108 UU no.32/ 2009.
Mari kita simak apa isi isi
pasal-pasal termaksud:
Pasal 50 UU 19/2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Thn. 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 41 Thn. 1999 tentang Kehutanan menjadi UU.
Pasal 50 (1) Setiap orang dilarang
merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
h. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
i. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
l. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
h. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
i. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
l. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 108 UU No. 32 Thn. 2009
tentang PPLH
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal-pasal di atas memang sungguh
menakutkan seolah-olah tanpa ampun siapa saja yang membakar dan untuk alasan
dan kepentingan apapun, maka ia akan terkena pidana penjara dan denda.
Namun benarkah demikian?
Mari kita simak Pasal 69 ayat (1)
huruf h sebagaimana dikutip dalam Pasal 108.
Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang:
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
(1) Setiap orang dilarang:
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
Jika HANYA melihat pasal 69 ayat
(1) huruf “h” saja, maka memang seolah-olah adanya larangan membuka lahan tanpa
kecuali. Namun Pasal 69 harus dilihat secara utuh, yaitu dalam ketentuan Pasal
69 ayat 2, yang menyatakan:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di
daerah masing-masing.”
Kemudian periksa bagian Penjelasan
Pasal 69 ayat 2, yang menyatakan:
Ayat (2)
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Maka bagi saya jelaslah larangan
membakar lahan itu:
1. Tidak berlaku bagi Masyarakat
yang menjalankan kearifan tradisionalnya
2. Masyarakat yang menjalankan kearifan tradisionalnya dalam membakar lahan hanya boleh terhadap lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per KK
3. Tanaman yang boleh ditanami adalah jenis varietas lokal, dan
4. Dikelilingi oleh sekat bakar untuk mencegah penjalaran api
2. Masyarakat yang menjalankan kearifan tradisionalnya dalam membakar lahan hanya boleh terhadap lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per KK
3. Tanaman yang boleh ditanami adalah jenis varietas lokal, dan
4. Dikelilingi oleh sekat bakar untuk mencegah penjalaran api
Tata laksana ketentuan Pasal 69
UUPLH diatur lebih lanjut dalam Permen LH No. 10 tahun 2010.
Ise Aso Ena Makse Taka (Siapa lagi Kalau Bukan Kita)
Syukran Amin
Palangka
Raya, 28 Juli 2016
Selasa, 26 Juli 2016
Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat Paser. Antara semangat Perubahan dan Trauma Politik.
Masyarakat adat Paser merupakan salah satu dari sekian
banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia. Yang mempunyai sejarah asal-usul,
wilayah adat, hukum adat dan tata cara hidup tersendiri yang dimiliki.
Paser merupakan nama sebuah suku yang mendiami Pulau
Kalimantan, tepatnya di Provinsi Kalimantan Timur. yang meliputi 3 (tiga)
wilayah administratif, yakni Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara dan
Balikpapan. Namun wilayah adatnya juga ada yang masuk sebagian di Provinsi
Kalimantan Selatan.
Dewasa ini masyarakat adat Paser diperhadapkan dengan
situasi dimana masyarakat adat harus terlibat aktif penuh dalam perluasan
politik masyarakat adat, guna untuk mewujudkan cita-cita besar bangsa dan
masyarkat adat untuk bisa mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik dan
bermartabat secara budaya. Namun hal itu bukanlah mudah untuk mencapai dan
meraih cita-cita besar tersebut. Butuh kesadaran bersama, perjuangan bersama,
dan konsistensi serta loyalitas terhadap sebuah perjuangan yang tinggi. Mengingat
trauma politik yang mendalam akibat dari akumulasi dari pembodohan-pembodohanyang
cukup lama selama ini oleh para elit-elit politik yang mengatasnamakan
kesejahteraan rakyat, namun dibalik itu ada niatan yang sangat jahat, untuk
menguasai dan menjarah sumber daya yang ada. Dan itu terbukti dengan banyaknya
perampasan hak atas wilayah adat, sumber daya alam, dan bahkan diskriminasi
serta kriminalisasi pun menjadi hal yang sangat sering terjadi dan diterima masyatakat
adat Paser.
Maka menurut penulis langkah awal yang pertama yang harus
dibangun adalah, membangkitkan rasa percaya diri kepada generasi muda Paser,
bahwa Mayarakat adat Paser jika ingin maju, jika ingin setara atau bahkan lebih
daripada yang lain adalah dengan menumbuh-kembangkan rasa percaya diri bahwa
Paser berhak penuh atas wilayah adatnya, generasi Paser juga berhak menentukan
arah hidup dirinya dan kampungnya, mengingat masyarakat adat Paser merupakan
pemilik yang sah atas wilayah adat dengan segenap sumber daya yang ada, yang
diwarisi dari para leluhur masyarakat adat Paser.
Langkah yang kedua, adalah generasi muda Paser harus
berani membuka diri terhadap kemajuan, menyerap segala macam pembaharuan yang
konstruktif dengan tidak meninggalkan nilai-nilai adat istiadat yang diwarisi
oleh leluhurnya, sehingga generasi tersebut tetap tidak kehilangan jati dirinya
sebagai masyarakat adat.
Langkah yang ketiga, Kaderisasi dan Distribusi Kader
Potensial. Ini penting untuk difahami dan dilakukan oleh segenap pihak dan
lembaga, pemerhati dan penggiat masyarakat adat Paser. Karena jika ingin
masyarakat adat kuat, maka masyarakat adat juga harus berani melawan arus atau mungkin
mengikuti arus perubahan. Karena stigma masyarakat adat yang selama ini
dianggap kolot, kampungan dan dianggap tidak bisa jadi pemimpin itu masih
sering kita dengar, namum itu akan terbantahkan jika kita sebagai generasi muda
ini mampu bangkit dan mengatakan kepada dunia bahwa kita juga sama. Kita juga
berhak menentukan nasib kita di tanah kita sendiri.
Distribusi kader potensial yang dimaksud adalah,
membekali diri para kader masyarakat adat dengan bermacam disiplin ilmu
pengetahuan, baik sosial, politik, budaya dst. sesuai dengan kompotensi masing –masing kader
masyarakat adat. Lalu mendorong para gerenasi muda Paser tersebut untuk mengisi
sektor-sektor yang dianggap sesuai yang bisa membawa perubahan yang lebih baik untuk
kemajuan masyarakat adat dan wilayah adatnya,serta untuk kemajuan negara dan
bangsa Indonesia yang kita cintai ini.
Dalam dunia politik, Masyarakat Adat Paser jelas punya
suara yang sama, bahwa mereka ingin dipimpin oleh suku asli Paser itu sendiri,
ini terbukti dari keinginan-keinginan disertai dengan perjuangan yang dilakukan
pada beberapa dekade terakhir ini. Meski pada akhirnya kesempatan dan cita-cita
besar itu belum terwujud. Namun tetap saja bahwa perjungan itu tidak berhenti
disitu saja. Masyarakat Adat Paser terus berbenah, terus mempersiapkan diri
untuk merebut kekuasaan itu dari mereka yang selama ini dianggap belum bisa
membawa banyak perubahan bagi masyarakat adat Paser, bahkan justru sebaliknya.
Dan keinginan ini tentu saja sangat beralasan, bahwa
memang hanya masyarakat adat Paserlah yang bisa mengerti, memahami dan serta ingin
melihat negerinya lebih baik. Karena selama ini masyarakat adat Paser menganggap
bahwa mereka selain masyarakat adat Paser yang menjadi pemimpin hanya mengasihani dan mungkin
mereka menganggap sebatas hanya memahami kesulitan dan kepedihan yang dialami
masyarakat adat Paser. Dan teriakan-teriakan ini selalu muncul dalam setiap
aksi gerakan masyarakat adat Paser, di forum-forum, media sosial, warung-warung
kopi disudut-sudut kampung dan dibanyak tempat yang lainnya.
Dan ini menarik jika ditarik dalam bingkai kenegaraan dan
kebangsaan yang biasa kita sebut NKRI. Yang menganut faham Bhineka Tunggal Ika,
Berbeda-beda tapi tetap satu.
Sejauh ini negara dirasakan belum sepenuhnya hadir sebagai
pelindung bagi warga negaranya. Karenanya tidak berlebihan jika kiranya
masyarakat adat banyak menuntut dan meminta pengakuan yang lebih kepada negara.
Salah satunya adalah dengan mempertegas diri bahwa masyarakat adat Paser berhak
menetukan nasibnya sendiri ditanah leluhurnya. Bahwa jika negara meniadakan
masyarakat adat sama halnya meniadakan negara sendiri.
Dipenghujung penulis ingin menegaskan, bahwa memang jika
masyakarat adat Paser ingin melangkah maju, harus berani keluar dari stigma
buruk yang terus ditanamkan dan dilontarkan oleh orang-orang yang ingin
menguasai Paser, yang justru mengkerdilkan masyarakat adat Paser itu sendiri. Dengan
merubah pola fikir kearah yang lebih baik dan membangun rasa kepercayaan yang
tinggi disertai dengan kemauan belajar yang kuat. Serta tidak kaku apalagi tabu
menghadapi perbedaan dan perubahan yang terjadi. Dan penulis juga ingin
mengutip sebuah kata-kata sangat populer bahwa ada tiga cara untuk menguasaikan
suatu negeri/bangsa : Pertama, Kaburkan Sejarahnya. Kedua, Hilangkan Bukti
Sejarahnya, sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya. Ketiga,
Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya. Dengan mengatakan kepada mereka
bahwa leluhur mereka bodoh, syirik dan primitif agar mereka membencinya.
Ise Aso Ena Makse
Taka’ (Siapa Lagi Jika Bukan Kita)
Syukran Amin
Palangkaraya, 26 Juli 2016
Rabu, 20 April 2016
Masyarakat Adat Paser Butuh Kepastian Hukum
Paser (20/04/2016} Konflik Sumber Daya Alam, Agraria, Wilayah Adat menjadi masalah utama saat ini di Kabupaten Paser. itu dapat kita lihat bagaimana padatnya jadwal hearing di DPRD terkait penyelesaian konflik masyarakat adat dengan perusahaan, investor dan pemerintah, baik itu terkait pemberian izin, MoU yang tidak jelas, dampak lingkungan, kerusakan hutan dan lingkungan, sampai perampasan hak atas wilayah adat masyarakat. Belum lagi aksi-aksi di lapangan yang saat ini gencar dilakukan masyarakat adat Paser menuntut pengakuan dan perlindungan hak-haknya.
Ada banyak aksi-aksi di Lapangan yang dilakukan oleh masyarakat Adat Paser sejak ± 10 tahun terakhir, Aksi SABIRAL yang kita kenal, kemudian Aksi tuntutan 10 Desa, Aksi Muara Lambakan, Aksi pemortalan perkebunan kelapa sawit dimana-mana dan banyak masih aksi-aksi masyakat adat Paser yang lainnya sampai hari ini, dimana dari banyaknya aksi Masyarakat adat selalu diposisi yang banyak dirugikan, dan tidak sedikit harus berakhir kriminalisasi dan diskriminasi.
Terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Paser, tidak banyak aturan yang jelas sebagai pedoman masyarakat adat Paser, hanya ada Perda Paser Tahun 2003 tentang Kelembagaan Adat dan Seni Budaya serta Surat Pernyataan Bupati Paser Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarkat Adat Paser Tahun 2015, itupun tidak secara spesifik mengatur tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Paser. Karenanya masyarakat Adat Paser butuh kepastian hukum dan perlindungan yang jelas atas hak-haknya agar masyarakat adat Paser merasa aman dan terlindungi, Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak masyakarat adat Paser (PPHMA) merupakan salah satu bentuk kepastian hukum yang saat ini dinantikan dan diperjuangkan oleh masyarakat adat Paser. Karena itu akan menjadi pedoman antara masyarakat adat dengan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan ini.
Perda Pengakuan dan Perlindungan hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) ini menjadi penting karena disini akan diatur dengan jelas bagaimana Hak atas hidup, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya, hak atas pembangunan, hak atas spritualitas dan kebudayaan, hak untuk mengurus diri sendiri, hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat, dll. Karenanya Butuh kerjasama dan komitmen yang kuat antara masyarakat adat dan pemerintah untuk bersama-sama mewujudkan itu semua sehingga cita-cita besar masyarakat adat untuk mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara budaya segera tercapai. Karena pengabaian atas hak-hak masyarkat adat adalah sama halnya meniadakan keutuhan NKRI, karena hak masyarakat adat telah diakui dan diatur oleh negara itu sendiri. (SA)
Sabtu, 01 Agustus 2015
Paser Bekerai Adakan Pawai Adat Budaya 1000 Mendau
Dalam rangka memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang akan jatuh pada tanggal 09 Agustus 2015. Dan juga dalam rangka semangat hari kemerdekaan HUT Republik ke 70.
Kegiatan Pawai Adat Budaya ini akan diselenggarakan pada hari Senin, 10 Agustus 2015, jam 14:00 di Tanah Grogot Grogot. Mengingat antusias yang sangat luar biasa dari masyarakat adat Paser, diperkirakan Pawai ini akan dipadati masyarakat adat Paser yang ingin turut meramaikan dan memperkenalkan budayanya. Karena undangan yang tersebar sampai di 3 wilayah, yakni Kabupaten Paser, Penajam Paser Utara dan Balikpapan. Mengingat ketiga wilayah ini merupakan satu wilayah Tana Paser yang kemudian dibagi menjadi 3 wilayah administratif.
Kami dari Pengirak Pusat Paser Bekerai juga mengundang kepada semua masyarakat dari kalangan manapun untuk bersama-sama turun ke jalan meramaikan Pawai Adat Budaya tersebut.
Pawai HIMAS kali ini memakai tema "Masyarakat Berbudaya Itu Keren" yang diharapkan menjadi spirit masyarakat adat untuk lebih semangat dan mencintai budayanya.
#Syukran Amin
Kegiatan Pawai Adat Budaya ini akan diselenggarakan pada hari Senin, 10 Agustus 2015, jam 14:00 di Tanah Grogot Grogot. Mengingat antusias yang sangat luar biasa dari masyarakat adat Paser, diperkirakan Pawai ini akan dipadati masyarakat adat Paser yang ingin turut meramaikan dan memperkenalkan budayanya. Karena undangan yang tersebar sampai di 3 wilayah, yakni Kabupaten Paser, Penajam Paser Utara dan Balikpapan. Mengingat ketiga wilayah ini merupakan satu wilayah Tana Paser yang kemudian dibagi menjadi 3 wilayah administratif.
Kami dari Pengirak Pusat Paser Bekerai juga mengundang kepada semua masyarakat dari kalangan manapun untuk bersama-sama turun ke jalan meramaikan Pawai Adat Budaya tersebut.
Pawai HIMAS kali ini memakai tema "Masyarakat Berbudaya Itu Keren" yang diharapkan menjadi spirit masyarakat adat untuk lebih semangat dan mencintai budayanya.
#Syukran Amin
Rabu, 11 Februari 2015
Selasa, 09 Desember 2014
Masyarakat Adat Paser TOLAK Unguisasi di Kabupaten Paser
Tana Paser, 10/12/2014
====
Kebijakan perintah Kabupaten Paser yang menerapkan UNGUisasi di Kabupaten Paser memang menjadi Trending Topic disetiap media cetak lokal dan media sosial akhir-akhir ini. hampir setiap sudut kampung membicarakan kebijakan unguisasi ini. Pro Kontra terkait kebijakan itu sangat terasa dikalangan masyarakat.
Dan tak ketinggalan kebijakan ini menyulut reaksi Penolakan keras dari Masyarakat Adat Paser. mereka menolak alasan pemerintah yang berdasarkan Peraturan Bupati No. 48 Tahun 2013 Pasal 4 terkait Unguisasi, yang saat ini menjadi acuan pemerintah menjadi semena-mena membuang-buang anggaran daerah. dan bukan cuma terkait pemborosan anggaran ini, Masyarakat Adat Paser juga menyatakan bahwa satu yang terpenting kenapa Masyarakat Adat Paser menolak kebijakan ini, bahwa ini merupakan salah satu bukti dari sekian banyak bukti kebijakan pemerintah yang tidak lagi mengindahkan kearifan lokal masyarakat Paser. Dengan arti yang tertuang dalam Pasal 4 itu dijelaskan makna warna ungu oleh pemerintah Kabupaten Paser terkesan sangat mengada-ngada. karena dalam Aasyarakat Adat Paser sendiri itu mempunyai warna sakral tersendiri yang sama sekali tidak mau diakomodir oleh pemerintah.
Sudah terlalu banyak bukti-bukti sejarah, kearifan lokal yang dihilangkan, dan banyaknya nama-nama kampung yang banyak dirubah ini merupakan bukti bahwa pemerintah paser ingin menghilangkan identitas asli Masyarakat Adat Paser, mereka ingin membunuh Masyarakat Adat Paser dengan cara yang sangat halus, dimulai dengan cara menghilangkan sejarah-sejarahnya, dengan bukti-bukti seperti yang ramai kita lihat sekarang.
Pemerintah Kabupaten Paser harus menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan sebuah pelecehan terhadap suku asli di Kabupaten Paser. Oleh karenanya tidak ada kata lain untuk semua Masyarakat Adat pribumi di Kabupaten Paser harus meolak setiap kebijakan pemerintah yang tidak mengindahkan kearifan lokal Masyarakat Adat Paser. Sudah saatnya Masyarakat Adat Paser bergerak melawan segala bentuk penindasan oleh pemerintah Kabupaten Paser. #Syukran Amin
Sabtu, 08 November 2014
Mengenai Mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM(Hak asasi Manusia) Di Indonesia
Persoalan pelanggaran HAM merukan persoalan yang sering terjadi kapan saja dan dimana saja. Setiap hari, minggu, dan setiap bulan persoalan pelanggaran HAM terjadi dalam berbagai bentuk dan di berbagai tempat yang menuntut partisipasi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam hal ini yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah adalah polisi dibidang penyidikan, jaksa dibidang penuntutan, dan hakim dalam hal member keputusan. Ketiga penegak hukum tersebut disebut juga catur wangsa dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pelanggaran HAM yang terjadi setiap hari dikalangan masyarakat bisa diselesaikan dengan berbagai cara, baik dengan cara diselesaikan tanpa campur tangan pemerintah yang disebut juga dengan non litigasi, maupun dengan cara melibatkan pemerintah atau yang disbut uga dengan litigasi. Secara non litigasi bisa terjadi dengan cara rekonsiliasi, negosiasi, musyawarah dan perdamaian atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan secara litigasi tahap pertama dilakukan penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, dan sampai putusan di pengadilan.
Rumusan masalah
Dari gambaran diatas dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas atau yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini meliputi beberapa masalah, antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana cara menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ?
2. Cara-cara apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikannya ?
3. Bagaimana cara beracara di depan pengadilan ?
Pola penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia
Bentuk penyelesaian kasus atau sengketa secara umum dapat di bagi menjadi dua cara, yaitu:
1. Litigasi
2. Non litigasi
Penyelesaian hukum secara litigasi adalah penyelesaian hukum melalui jalur pengadilan baik itu pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha Negara, dan pengadilan militer tergantung perkara apa yang diaujukan ole pihak yang bersengketa. Dalam bukunya Agnes M.toar yang berjudul seri dasar-dasar hukum ekonomi 2 arbitrase di Indonesia menyebutkan bahwa litigasi merupakan suatu proses gugatan suatu konflik yang diriutalisasikanyang menggantikan konflik sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Aturannya sudah dimuat dalam aturan khusus dalam undang-undang materiil dan dalam undang-undang formil. Sedangkan non litigasi merupakan proses penyelesaian perkara atau kasus diluar pengadilan. Penyelesaiannya bisa terjadi melalui cara mediasi, konsiliasi dan bisa juga terjadi dengan kesepakatan bersama untuk mengakhiri persengketaan antar kedua belah pihak.
Sifat penyelesaian sengketa litigasi dan non litigasi
1. Sifat litigasi
a. Prosesnya makan waktu lama
b. Terbuka untuk umum (kecuali kasus khusus : misalnya pelecehan seksual, kasus anak)
c. Penerapan hukum acaranya bersifat mengikat
2. Sifat non litigasi
a. Penyelesaian sengketa bisa lebih cepat
b. Konfidensial (tertutup)
c. Tidak formal
d. Penyelesaiannya oleh tim yang professional
e. Putusan final dan binding (mengikat)
Penyelesaian sengketa secara litigasi
Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Melalui jalur ini keputusan akan terjamin dapat memuaskan hati kedua belah pihak, karena pengadilan bersikap adil dan objektif dalam memberi keputusan. Selain itu pengadilan dalam memvonis seseorang bersalah dan menghukum dapat menimbulkan efek jera . Pengadilan juga mandiri independen dalam memberikan keputusan dan tanpa intimidasi dan paksaan dari pihak lain dalam memberikan keputusan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan disebut juga dengan pelibatan pihak ketiga , pihak ketiga inilah yang disebut dengan pengadilan.
Penyelesaian sengketa secara non litigasi
Cirri utama dalam penyelesaian melalui jalur non litigasi atau non adjudikasi adalah kesepakatan pihak-pihak yang berperkara. Apabila kedua belah pihak sudah sepakat maka perkara tersebut selesai.
Cara penyelesaian sengketa alternatif menurut UU No.30 tahun 1999 adalah :
1. Arbitrase
Arbitrase merupakan bentuk lain dari ajudikasi, yakni ajudikasi privat. Para pihak, baik yang mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami sengketa yang tidak mampu diselesaikan melalui musyawarah, sepakat untuk menyerahkan sengjetanya kepada pengambil keputusan privat dengan cara-cara yang mereka tentukan bersama. Dengan cara ini para pihak menghindari penyelesaaian sengketa melalui peradilan umum.
2. Negosiasi
Dalam kamus lengkap bahasa terkini negosiasi merupakan tawar menawar melalui perundingan demi mencapai kesepakatan. Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
3. mediasi
Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namun dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan diantara mereka.
4. Konsiliasi
Konsiliasi Adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di anatar mereka. Konsiliasi dalam UU No. 30 Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan .
5. pendapat ahli
pendapat ahli adalah pendapat seseorang yang digunakan dalam penyelesaian sengketa. Ahli disini merupakan ahli dibidang hukum, orang yang mampu menguasai seluk-beluk hukum .
Jenis dan penyelesaian sengketa melalui forum internasional
Penyelesaian sengketa internasional terdapat dalam pasal 33 piagam PBB yang merupakan sumber semua sengketa HAM. Terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa intenasional, yaitu sebagai berikut :
1. Negosiasi (dalam UU no 39/1999 disebut dengan konsultasi)
2. Penyelidikan (enquiry). Hal ini dilakukan untuk menyeldiki latar belakang timbulnya sengketa, serta fakta-fakta)
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Arbitrasi
6. Penyelesaian melalui pengadilan.
Proses beracara dalam kasus pelanggaran HAM
Terdapat beberapa tahap dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, antara lain sebagai berikut :
Tahap penerimaan berkas perkara
Hal-hal yang dilayani pada tahap pemeriksaan perkara, yaitu :
1. Menerima berkas perkara dari petugas yang berwenang dan lengkap dengan surat tuduhan dari jaksa.
2. Mendaftarkan perkara dalam buku register perkara
3. Member nomor register dan mengirimkan kepada panitera perkara
4. Menerima barang-barang bukti dan dicatat seteliti mungkin dalam buku register barang bukti
Tahap persiapan
Beberapa hal yang dapat dilakukan pada tahap persiapan ini, yaitu sebagai berikiut :
1. Panitera perkara sebelum meneruskan berkas perkara yang baru diterimanya itu kepada ketua pengadilan negeri, terlebih dahulu mencatatnya dalam buku register untuk perkara pidana
2. Selambat-lambatnya pada hari kedua setelah berkas perkara pidana diterima panitera, berkas-berkas perkara pidana itu sudah diterima oleh ketua pengadilan
3. Sesudah itu ketua pengadilan negeri mencatat dalam buku register yang ada padanya dan dipelajari agar mendapat gambaran secara garis besar duduk perkaranya kasus
4. Selambat-lambatnya 7 hari setelah diterimanya perkara tersebut, ketua/wakil ketua pengadilan negeri harus sudah menunjuk mejelis hakim untuk mengadili perkara tersebut
5. Bersamaan penunjukan majelis hakim berkas perkara diberikan kepada majelis hakim yang bersangkitan
6. Sebelum menyidangkan, ketua mejelis harus menentukan arah serta rencana pemeriksaannya setelah para hakim mempelajari berkas perkara yang bersangkutan
7. Sebelum persidangan dimulai juru sita pengganti harus mengecek dahulu apakah terdakwa, saksi, dan jaksa penuntut umum, sudah datang dan lengkap berada disidang pengadilan
8. Apabila sudah lengkap, hal ini dilaporkan kepada panitera pengganti yang bersangkutan, kemudian melaporkannya pada ketua majelis yang akan memeriksa perkara.
9. Setelah itu ketua majlis memerintahkan agar persidangan dimulai.
Tahap penyelesaian perkara/tahap persidangan
Tahap penyelesaian perkara disidang pengadilan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat.
1. Pemeriksaan dengan acara cepat
Pemerikaan dengan acara biasa dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
a. Tahap pemanggilan
b. Tahap pembukuan dan pemeriksaan identitas terdakwa
c. Tahap pembacaan surat dakwaan
d. Tahap eksepsi
e. Tahap pembuktian
f. Tahap requisitoir (tuntutan dari jaksa penuntut)
g. Tahap pledoi
h. Tahap replik dan duplik
i. Tahap putusan
Kesimpulan
Pelanggaran HAM merupakan tindakan yang setiap hari dilakukan oleh orang-orang yang tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan. Perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kepentingan dan kemauan akan sesuatu yang ingin didapatkan sehingga mengorbankan hak-hak orang lain.
Oleh karena tindakan pelanggaran HAM setiap hari terjadi diberbagai tempat dan waktu menuntut kita atau para penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan pengadilan untuk mengembalikan hak-hak mereka yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak berperikemanusiaan. Proses penyelesaian sengketa HAM biasa dilakukan dengan dua cara secara umum, antara lain litigasi dan nonlitigasi. Proses litigasi biasanya dilakukan oleh para penegak hukum atau yang disebut juga dengan catur wangsa. Mereka inilah yang mmepunyai wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggran HAM. Sedangka penyelesaian segketa secara non litigasi dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak. Dengan cara bagaimana pihak-pihak tersebut menyelesaikan sengketa terserah kepada orang tersebut. Baik dengan cara mediasi, negosiasi, dan dengan cara arbiter.
Saran dan rekomendasi
Dewasa ini berbagai kasus pelanggaran HAM terjadi di Indonesia, namun sampai sekarang tidak ada peradilan khusus yang mengadili tentang perkara HAM. Sampai sekarang pelanggaran tersebut masih diserahkan kepada pengadilan negeri, padahal pengadilan negeri penuh dengan kesibukan dalam mengadili perkara jual beli, utang piutang, persoalan perkawinan bagi orang non muslim dan perkara-perkara perdata lainnya.
Oleh sebab kesibukan-kesibukan tersebut sehingga perkara pelanggaran HAM diperiksa secara tidak menjamin keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu saya selaku penulis mengharap beberapa hal kepada pemerintah RI : pertama, agar pemerintah berpartisipasi dalam memberantaskan pelanggaran HAM dengan membentuk pengadilan HAM yang berada dibawah naungan mahkamah agung. Dengan demikian keadilan akan menjamin bagi pencari keadilan. Kedua, agar pemerintah membentuk UU tentang korban akibat pelanggaran yang terjadi mendapat pengobatan dari Negara, dan Negara tidak hanya mendampingi korban untuk mengadili sidang, tetapi Negara harus memberi makan kepada keluarga korban selama korban belum sembuh.
Daftar pustaka
Damanik, Jayadi, modul pelatihan mediasi berspektif HAM (cet 1 komnas HAM), Jakarta : komnas HAM, 2005.
http://papers-agungyudha.blogspot.com/2002/11/perlindungan-ham-di-indonesia-dan.html, jam 21 :29, 16-11-2011
http://mutiarakeadilan.blogspot.com/2008/02/penyelesaian-sengketa-non-litigasi.html, jam 21:54, 16-11-2011
Rusli Muhammad, potret lembaga pengadilan Indonesia (edisi 1, Jakarta, pt raja grafindo persada, 2006),
M.toar agnes dkk, seri dasar-dasar hukum ekonomi 2 arbitrase di Indonesia, ghalia Indonesia, Jakarta : 1995.
Fikri aditya, kamus lengkap bahasa Indonesia terkini
http://vegadadu.blogspot.com/2011/04/konsiliasi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi
http://lalayulinurmala.blogspot.com/2007/04/pranata-alternatif-penyelesaian.html, :42, 20-11-2011.
http://www.tanyahukum.com/uncategorized/168/alternatif-penyelesaian-sengketa/, jam 5:50, 20-11-2011.
Sumber : http://muko-simbolon.blogspot.com/2012/12/mengenai-mekanisme-penyelesaian-kasus.html
Pelanggaran HAM yang terjadi setiap hari dikalangan masyarakat bisa diselesaikan dengan berbagai cara, baik dengan cara diselesaikan tanpa campur tangan pemerintah yang disebut juga dengan non litigasi, maupun dengan cara melibatkan pemerintah atau yang disbut uga dengan litigasi. Secara non litigasi bisa terjadi dengan cara rekonsiliasi, negosiasi, musyawarah dan perdamaian atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan secara litigasi tahap pertama dilakukan penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, dan sampai putusan di pengadilan.
Rumusan masalah
Dari gambaran diatas dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas atau yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini meliputi beberapa masalah, antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana cara menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ?
2. Cara-cara apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikannya ?
3. Bagaimana cara beracara di depan pengadilan ?
Pola penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia
Bentuk penyelesaian kasus atau sengketa secara umum dapat di bagi menjadi dua cara, yaitu:
1. Litigasi
2. Non litigasi
Penyelesaian hukum secara litigasi adalah penyelesaian hukum melalui jalur pengadilan baik itu pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha Negara, dan pengadilan militer tergantung perkara apa yang diaujukan ole pihak yang bersengketa. Dalam bukunya Agnes M.toar yang berjudul seri dasar-dasar hukum ekonomi 2 arbitrase di Indonesia menyebutkan bahwa litigasi merupakan suatu proses gugatan suatu konflik yang diriutalisasikanyang menggantikan konflik sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Aturannya sudah dimuat dalam aturan khusus dalam undang-undang materiil dan dalam undang-undang formil. Sedangkan non litigasi merupakan proses penyelesaian perkara atau kasus diluar pengadilan. Penyelesaiannya bisa terjadi melalui cara mediasi, konsiliasi dan bisa juga terjadi dengan kesepakatan bersama untuk mengakhiri persengketaan antar kedua belah pihak.
Sifat penyelesaian sengketa litigasi dan non litigasi
1. Sifat litigasi
a. Prosesnya makan waktu lama
b. Terbuka untuk umum (kecuali kasus khusus : misalnya pelecehan seksual, kasus anak)
c. Penerapan hukum acaranya bersifat mengikat
2. Sifat non litigasi
a. Penyelesaian sengketa bisa lebih cepat
b. Konfidensial (tertutup)
c. Tidak formal
d. Penyelesaiannya oleh tim yang professional
e. Putusan final dan binding (mengikat)
Penyelesaian sengketa secara litigasi
Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Melalui jalur ini keputusan akan terjamin dapat memuaskan hati kedua belah pihak, karena pengadilan bersikap adil dan objektif dalam memberi keputusan. Selain itu pengadilan dalam memvonis seseorang bersalah dan menghukum dapat menimbulkan efek jera . Pengadilan juga mandiri independen dalam memberikan keputusan dan tanpa intimidasi dan paksaan dari pihak lain dalam memberikan keputusan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan disebut juga dengan pelibatan pihak ketiga , pihak ketiga inilah yang disebut dengan pengadilan.
Penyelesaian sengketa secara non litigasi
Cirri utama dalam penyelesaian melalui jalur non litigasi atau non adjudikasi adalah kesepakatan pihak-pihak yang berperkara. Apabila kedua belah pihak sudah sepakat maka perkara tersebut selesai.
Cara penyelesaian sengketa alternatif menurut UU No.30 tahun 1999 adalah :
1. Arbitrase
Arbitrase merupakan bentuk lain dari ajudikasi, yakni ajudikasi privat. Para pihak, baik yang mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami sengketa yang tidak mampu diselesaikan melalui musyawarah, sepakat untuk menyerahkan sengjetanya kepada pengambil keputusan privat dengan cara-cara yang mereka tentukan bersama. Dengan cara ini para pihak menghindari penyelesaaian sengketa melalui peradilan umum.
2. Negosiasi
Dalam kamus lengkap bahasa terkini negosiasi merupakan tawar menawar melalui perundingan demi mencapai kesepakatan. Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
3. mediasi
Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namun dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan diantara mereka.
4. Konsiliasi
Konsiliasi Adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di anatar mereka. Konsiliasi dalam UU No. 30 Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan .
5. pendapat ahli
pendapat ahli adalah pendapat seseorang yang digunakan dalam penyelesaian sengketa. Ahli disini merupakan ahli dibidang hukum, orang yang mampu menguasai seluk-beluk hukum .
Jenis dan penyelesaian sengketa melalui forum internasional
Penyelesaian sengketa internasional terdapat dalam pasal 33 piagam PBB yang merupakan sumber semua sengketa HAM. Terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa intenasional, yaitu sebagai berikut :
1. Negosiasi (dalam UU no 39/1999 disebut dengan konsultasi)
2. Penyelidikan (enquiry). Hal ini dilakukan untuk menyeldiki latar belakang timbulnya sengketa, serta fakta-fakta)
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Arbitrasi
6. Penyelesaian melalui pengadilan.
Proses beracara dalam kasus pelanggaran HAM
Terdapat beberapa tahap dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, antara lain sebagai berikut :
Tahap penerimaan berkas perkara
Hal-hal yang dilayani pada tahap pemeriksaan perkara, yaitu :
1. Menerima berkas perkara dari petugas yang berwenang dan lengkap dengan surat tuduhan dari jaksa.
2. Mendaftarkan perkara dalam buku register perkara
3. Member nomor register dan mengirimkan kepada panitera perkara
4. Menerima barang-barang bukti dan dicatat seteliti mungkin dalam buku register barang bukti
Tahap persiapan
Beberapa hal yang dapat dilakukan pada tahap persiapan ini, yaitu sebagai berikiut :
1. Panitera perkara sebelum meneruskan berkas perkara yang baru diterimanya itu kepada ketua pengadilan negeri, terlebih dahulu mencatatnya dalam buku register untuk perkara pidana
2. Selambat-lambatnya pada hari kedua setelah berkas perkara pidana diterima panitera, berkas-berkas perkara pidana itu sudah diterima oleh ketua pengadilan
3. Sesudah itu ketua pengadilan negeri mencatat dalam buku register yang ada padanya dan dipelajari agar mendapat gambaran secara garis besar duduk perkaranya kasus
4. Selambat-lambatnya 7 hari setelah diterimanya perkara tersebut, ketua/wakil ketua pengadilan negeri harus sudah menunjuk mejelis hakim untuk mengadili perkara tersebut
5. Bersamaan penunjukan majelis hakim berkas perkara diberikan kepada majelis hakim yang bersangkitan
6. Sebelum menyidangkan, ketua mejelis harus menentukan arah serta rencana pemeriksaannya setelah para hakim mempelajari berkas perkara yang bersangkutan
7. Sebelum persidangan dimulai juru sita pengganti harus mengecek dahulu apakah terdakwa, saksi, dan jaksa penuntut umum, sudah datang dan lengkap berada disidang pengadilan
8. Apabila sudah lengkap, hal ini dilaporkan kepada panitera pengganti yang bersangkutan, kemudian melaporkannya pada ketua majelis yang akan memeriksa perkara.
9. Setelah itu ketua majlis memerintahkan agar persidangan dimulai.
Tahap penyelesaian perkara/tahap persidangan
Tahap penyelesaian perkara disidang pengadilan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat.
1. Pemeriksaan dengan acara cepat
Pemerikaan dengan acara biasa dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
a. Tahap pemanggilan
b. Tahap pembukuan dan pemeriksaan identitas terdakwa
c. Tahap pembacaan surat dakwaan
d. Tahap eksepsi
e. Tahap pembuktian
f. Tahap requisitoir (tuntutan dari jaksa penuntut)
g. Tahap pledoi
h. Tahap replik dan duplik
i. Tahap putusan
Kesimpulan
Pelanggaran HAM merupakan tindakan yang setiap hari dilakukan oleh orang-orang yang tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan. Perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kepentingan dan kemauan akan sesuatu yang ingin didapatkan sehingga mengorbankan hak-hak orang lain.
Oleh karena tindakan pelanggaran HAM setiap hari terjadi diberbagai tempat dan waktu menuntut kita atau para penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan pengadilan untuk mengembalikan hak-hak mereka yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak berperikemanusiaan. Proses penyelesaian sengketa HAM biasa dilakukan dengan dua cara secara umum, antara lain litigasi dan nonlitigasi. Proses litigasi biasanya dilakukan oleh para penegak hukum atau yang disebut juga dengan catur wangsa. Mereka inilah yang mmepunyai wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggran HAM. Sedangka penyelesaian segketa secara non litigasi dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak. Dengan cara bagaimana pihak-pihak tersebut menyelesaikan sengketa terserah kepada orang tersebut. Baik dengan cara mediasi, negosiasi, dan dengan cara arbiter.
Saran dan rekomendasi
Dewasa ini berbagai kasus pelanggaran HAM terjadi di Indonesia, namun sampai sekarang tidak ada peradilan khusus yang mengadili tentang perkara HAM. Sampai sekarang pelanggaran tersebut masih diserahkan kepada pengadilan negeri, padahal pengadilan negeri penuh dengan kesibukan dalam mengadili perkara jual beli, utang piutang, persoalan perkawinan bagi orang non muslim dan perkara-perkara perdata lainnya.
Oleh sebab kesibukan-kesibukan tersebut sehingga perkara pelanggaran HAM diperiksa secara tidak menjamin keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu saya selaku penulis mengharap beberapa hal kepada pemerintah RI : pertama, agar pemerintah berpartisipasi dalam memberantaskan pelanggaran HAM dengan membentuk pengadilan HAM yang berada dibawah naungan mahkamah agung. Dengan demikian keadilan akan menjamin bagi pencari keadilan. Kedua, agar pemerintah membentuk UU tentang korban akibat pelanggaran yang terjadi mendapat pengobatan dari Negara, dan Negara tidak hanya mendampingi korban untuk mengadili sidang, tetapi Negara harus memberi makan kepada keluarga korban selama korban belum sembuh.
Daftar pustaka
Damanik, Jayadi, modul pelatihan mediasi berspektif HAM (cet 1 komnas HAM), Jakarta : komnas HAM, 2005.
http://papers-agungyudha.blogspot.com/2002/11/perlindungan-ham-di-indonesia-dan.html, jam 21 :29, 16-11-2011
http://mutiarakeadilan.blogspot.com/2008/02/penyelesaian-sengketa-non-litigasi.html, jam 21:54, 16-11-2011
Rusli Muhammad, potret lembaga pengadilan Indonesia (edisi 1, Jakarta, pt raja grafindo persada, 2006),
M.toar agnes dkk, seri dasar-dasar hukum ekonomi 2 arbitrase di Indonesia, ghalia Indonesia, Jakarta : 1995.
Fikri aditya, kamus lengkap bahasa Indonesia terkini
http://vegadadu.blogspot.com/2011/04/konsiliasi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi
http://lalayulinurmala.blogspot.com/2007/04/pranata-alternatif-penyelesaian.html, :42, 20-11-2011.
http://www.tanyahukum.com/uncategorized/168/alternatif-penyelesaian-sengketa/, jam 5:50, 20-11-2011.
Sumber : http://muko-simbolon.blogspot.com/2012/12/mengenai-mekanisme-penyelesaian-kasus.html
Jumat, 07 November 2014
PW BPAN TANA LUWU DAN BPAN KALIMANTAN UTARA TELAH TERBENTUK
Jakarta, 23/10/2014.
Dengan semangat
perjuangan dan cita-cita luhur organisasi untuk terus bersinergi dan lebih
dekat kepada komunitas pemuda (Masyarakat adat khususnya) maka dari Barisan
Pemuda Adat Nusantara (BPAN) dalam hal ini selaku sayap organisasi dari Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kembali melakukan pertemuan wilayah didua
tempat yang berbeda yakni di Tana Luwu Sulawesi Selatan tanggal 12 Oktober 2014
dan di Kecamatan Sekatak, Bulungan Kalimantan Utara tanggal 23 Oktober 2014.
Pertemuan didua tempat berbeda ini telah menghasilkan
beberapa rekomendasi dan program kerja organisasi serta telah memilih Saudara
Ismail Tahir selaku ketua umum wilayah di Tana Luwu dan saudara Deny Nestafa
selaku ketua umum wilayah Kalimantan Utara.
Dengan terbentuknya dua pengurus wilayah ini,
diharapakan kedepan Barisan Pemuda Adat Nusantara semakin solid dan lebih
terpimpin dalam mejalankan roda organisasi dan tetap menjadi garda terdepan sebagai
kader penggerak AMAN dalam membela dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
Dipastikan juga bahwa Barisan Pemuda Adat Nusantara
didua wilayah ini akan menjadi sentral gerakan pemuda adat didua wilayah yang
akan memastikan cita-cita organisasi sebagai pemuda adat yang mandiri secara
ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara budaya ini bisa
terwujud.
#Syukran Amin
Senin, 21 Juli 2014
Konsolidasi BPAN jelang Jambore Nasional Pemuda Adat Nusantara ke-II di Lombok
Lombok
15 Mei 2014, Mengingat hasil Rakernas I Barisan Pemuda adat Nusantara di
Bali akhir Desember 2013 lalu dimana dalam keputusan itu salah satunya
menetapkan Lombok sebagai tuan rumah Jambore Nasional Pemuda Adat Nusantara ke-II,
maka pada tanggal 15-16 Mei 2014 Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara
(BPAN) melakukan konsolidasi bersama dengan Pengurus Wilayah dan anggota Baralosa
(BPAN NTB) jelang Jambore Nasional Pemuda Adat Nusantara ke-II yang sedianya
akan dilaksanakan di Lombok pada Januari atau awal februari 2015 mendatang.
“Waktu
Jambore sudah semakin dekat, jadi harus ada persiapan lebih untuk suksesnya
acara Jambore Barisan Pemuda Adat II tersebut. Kami sebagai tuan rumah merasa
terhormat karna sudah ditunjuk dan dipercaya sebagai tuan rumah dan kami akan
bekerja maksimal untuk mensukseskan acara Jambore ini”, terang Syahadatul Khair
selaku Pejabat sementara (Pjs) Ketua Wilayah Baralosa.
Dalam
pertemuan tersebut selain membahas persiapan Jambore II, juga menetapkan
saudari Syahadatul Khair sebagai Pjs Ketua Wilayah Baralosa yang akan memimpin
sementara jalannya roda organisasi BPAN di NTB. #Syukran/Anto
Minggu, 11 Mei 2014
Satlantas Polres Paser Perlu Difasilitasi Kamera Pengintai
Rabu, 9 Januari 2013 15:58 WIB
Khusus untuk kasus laka lantas tunggal yang merenggut nyawa dua anak usia remaja ini mendapat perhatian sejumlah elemen masyarakat di Kabupaten Paser, mengingat masih maraknya aksi balapan liar yang pelakunya selalu "kucing-kucingan" dengan aparat.
Seperti diungkapkan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Paser Syukran Amin, Rabu (9/1/2013). Menurutnya, pengendara yang ugal-ugalan di jalan raya menjadi penyebab utama laka lantas, yang lebih menakutkan lagi kalau pengendaranya itu anak-anak usia pelajar."Lemahnya kesadaran dan pengawasan orang tua terhadap anak-anak mereka juga menjadi faktor pendukung maraknya aksi ugal-ugalan di jalan, balap liar yang seakan jadi agenda rutin setiap malam Minggu atau malam hari yang lain.
Untuk menyiasati kucing-kucingan, itu perlu kamera pengintai atau CCTV," kata Syukran.Sanksi berat belum mampu memberi efek jera terhadap para pelaku balapan liar, apalagi kalau cuma diberi sanksi ringan. Oleh karena itu, Syukran berharap Satlantas melakukan operasi rutin dan memberikan sanksi seberat-beratnya, kalau perlu ada CCTV di sejumlah titik untuk memantau aktifitas di jalan raya demi menjaga keamanan dan keselamatan para pengguna jalan lainnya.TANA PASER, tribunkaltim@yahoo.co.id - Laka lantas tunggal dan baku seruduk dua unit sepeda motor di Jalur dua Kilometer 5 Jalan Kusuma Bangsa di awal tahun 2013 seolah-olah menjadi mimpi buruk jajaran Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Paser. Keberhasilan menekan angka laka lantas di tahun 2012, lewat tanpa kesan akibat terjadinya dua kasus laka lantas di awal tahun.
PMII Paser Tolak Pembangunan Bandara
Selasa, 18 Juni 2013 19:16 WIB
TANA PASER, tribunkaltim.co.id - Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Paser, Selasa (18/6/2013), menggelar unjuk rasa di jalur dua Jalan Jenderal Sudirman, Tana Paser. Tepat di persimpangan lampu merah SPBU, mereka meneriakkan penolakan pembangunan bandara, sehingga menarik perhatian banyak pengguna jalan.
Aksi puluhan mahasiswa ini juga dilengkapi poster-poster yang bertuliskan; Stop Pembohongan Rakyat, Masyarakat Kecil Butuh Jalan Bagus Bukan Bandara, DPRD Pro Kapitalis Atau Pro Rakyat, Anggota Dewan Tidur, dan Bandara Cuma Soal Gengsi. Dan sebagian lagi membagikan selebaran-selebaran kepada para pengguna jalan.
Namun aksi unjuk rasa di jalan ini hanya berlangsung sekitar satu jam, setelah itu mereka bergeser ke DPRD Paser untuk menyampaikan aspirasi mereka. Selain itu, sebagian masyarakat banyak mengira, aksi demo mahasiswa ini terkait dengan penolakkan kenaikkan harga BBM, seperti yang terjadi di daerah-daerah lain.
Kepada Tribun, Syukran Amin selaku Koordinator Lapangan (Korlap) aksi ini mengatakan, bahwa wujud dari harapan agar program pembangunan pemerintah lebih berpihak kepada rakyat. Menurutnya, masih banyak jalan desa yang rusak, yang lebih penting dan perlu diprioritaskan, dibandingkan dengan pembangunan bandara.
"Rakyat kecil tak punya duit untuk beli tiket pesawat mas, rakyat yang tinggal di desa-desa cuma ingin jalannya diperbaiki, biar mudah menjual hasil kebun. Sedangkan bandara, lebih banyak dipakai orang kaya, pegawai, pejabat," kata Syukran.
TANA PASER, tribunkaltim.co.id - Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Paser, Selasa (18/6/2013), menggelar unjuk rasa di jalur dua Jalan Jenderal Sudirman, Tana Paser. Tepat di persimpangan lampu merah SPBU, mereka meneriakkan penolakan pembangunan bandara, sehingga menarik perhatian banyak pengguna jalan.
Aksi puluhan mahasiswa ini juga dilengkapi poster-poster yang bertuliskan; Stop Pembohongan Rakyat, Masyarakat Kecil Butuh Jalan Bagus Bukan Bandara, DPRD Pro Kapitalis Atau Pro Rakyat, Anggota Dewan Tidur, dan Bandara Cuma Soal Gengsi. Dan sebagian lagi membagikan selebaran-selebaran kepada para pengguna jalan.
Namun aksi unjuk rasa di jalan ini hanya berlangsung sekitar satu jam, setelah itu mereka bergeser ke DPRD Paser untuk menyampaikan aspirasi mereka. Selain itu, sebagian masyarakat banyak mengira, aksi demo mahasiswa ini terkait dengan penolakkan kenaikkan harga BBM, seperti yang terjadi di daerah-daerah lain.
Kepada Tribun, Syukran Amin selaku Koordinator Lapangan (Korlap) aksi ini mengatakan, bahwa wujud dari harapan agar program pembangunan pemerintah lebih berpihak kepada rakyat. Menurutnya, masih banyak jalan desa yang rusak, yang lebih penting dan perlu diprioritaskan, dibandingkan dengan pembangunan bandara.
"Rakyat kecil tak punya duit untuk beli tiket pesawat mas, rakyat yang tinggal di desa-desa cuma ingin jalannya diperbaiki, biar mudah menjual hasil kebun. Sedangkan bandara, lebih banyak dipakai orang kaya, pegawai, pejabat," kata Syukran.
Dapat Penolakan Penetapan Pasir Mayang sebagai Lokasi Cagar Alam
Sabtu, 12 Oktober 2013 - 07:29:56
| | |
Kaltim
| | |
Dibaca : 242 Kali
|
Bahkan, BPAN menilai, dengan ditetapkannya Pasir Mayang sebagai kawasan CA sejak 1983 lalu, membuat akses masyarakat Pasir Mayang untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam secara maksimal terbatasi.
Ketua BPAN Syukran Amin mengatakan, persoalan lain yang akan muncul adalah konflik sosial masyarakat, karena tak bisa mengurus kepemilikan tanah sesuai batas-batas tertentu karena terganjal di Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang tak bisa memproses semua permohonan hak atas tanah di kawasan CA.
“Padahal kondisi riilnya masyarakat Pasir Mayang sudah berada di wilayah itu sebelum ada penetapan CA dari pemerintah,” beber Syukran. Untuk itu, Syukran meminta pemerintah agar cepat merespons persoalan ini karena jika terus dibiarkan akan membatasi gerak masyarakat Pasir Mayang dalam mengembangkan tata wilayahnya tanpa dihalangi status CA.
“Pemerintah belum memberikan kejelasan mengenai tata ruang wilayah, sehingga berimplikasi pada tersanderanya warga desa yang daerahnya masuk dalam kawasan CA,” urainya. Menurutnya, adanya SK Gubernur Kaltim nomor No. 46 tahun 1982, tanggal 1 Maret 1982, yang diperkuat dengan dengan SK Menteri Pertanian nomor 24/Kpts/Um/1/1983 tanggal 15 Januari 1983 harus diuji kembali.
Amin berharap, pemerintah segera memberikan kepastian terhadap hak-hak masyarakat Pasir Mayang sebelum muncul konflik terkait kepemilikan lahan.
“Sekarang masyarakat Pasir Mayang terancam adanya konflik karena masing-masing tak memiliki dasar kepemilikan atas tanah. Padahal mereka sudah berada di wilayah Pasir Mayang sebelum ada penetapan sebagai kawasan CA,” urainya sembari mengatakan di kawasan Pasir Mayang ada yang ganjil saat diketahui adanya perusahaan sawit yang mulai berkebun padahal penetapan di Pasir Mayang sebagai kawasan CA masih belum di cabut.
Untuk diketahui, dari lebih 139 desa definitif yang ada di Kabupaten Paser, kawasan desa Pasir Mayang, Kecamatan Kuaro merupakan salah satu dari 30 desa yang masuk dalam kawasan Cagar Alam (CA) dan dari jumlah tersebut 14 desa di antaranya masuk kawasan cagar alam, 15 desa masuk dalam kawasan budi daya kehutanan dan satu desa masuk dalam kawasan hutan lindung. (nan/ind/k7)
Jumat, 31 Januari 2014
ETIKA FORUM (Sebuah Retorika)
Pembagian Retorika menurut Aris toteles ada 3 :
}Arrangement : Berbentuk, bersusun, nilai Estetika. Sistematis.
}Ekpresision : Pewajahan gagasan.
}Persuation : Menarik simpati, pesona, mempengaruhi
Retorika dalam penggunaan bahasa ada 7 macam :
}Langgam Agama : Berirama naik turun, Keras, Lembut, menyentuh
}Langgam Agitatif : Menggelora, gamblang ( Lebih cocok di lapangan terbuka ) Sifatnya mengajak,menghasut, dll.
}Langgam Konversasi : Sering digunakan dalam forum ilmiah, alur fikir, wawasan ilmiah.
}Langgam Statistik : Cenderung menggunakan angka-angka, grafik atau dibantu alat peraga.
}Langgam Diktatik : Menggurui, Mudah dicernai.
}Langgam Sentimentil : Romantis, Sedih, puitis}Langgam Theater : bahasa s
esuai dengan action.
Action Rhetorie
}Bergeraklah menuju panggung dengan tenang, tidak tergesa-gesa.
}Hilangkan perasaan ragu-ragu
}Hadirkan PD dan sejukkan hati
}Singkirkan segala hal yang bakal mengganggu fikiran, rasa takut, cemas, minder, malu dll
}Munculkan dalam diri jiwa besar dan berani.
}Hindari juga keangkuhan, sombong yang mungkin menghilangkan simpati audiens.
}Berpakaian yang pantas, sesuai kondisi forum/acara.
Cara Memulai Bicara, Ceramah, Pidato, Membawa Materi, Persentase :
}Mengatur Nafas
}Menormalkan denyut jantung
}Melayangkan pandang kearah Pandangan.
}Berdirilah sejenak dengan tenang.
}Aturlah volume suara sambil memonitor glora suaranya sendiri dari sound sistem.
}Mengucapkan Bismillah, salam dengan mantap dan tenang.
}Wajah menabur simpatik penuh persahabatan.
Menguasai Fsikologi Forum :
}Brain Storming
}Lempar Pertanyaan
}Perkenalan, Individu, Kegiatan
}Pahami Materi
}Review
Langganan:
Postingan (Atom)